Senin, 19 September 2011

Pertempuran Berdarah Kerawang - Bekasi

09 Desember 1947. Rawagede menjadi merah. Api berkobar-kobar. Sungai-sungai dialiri darah. Inilah salah satu kisah pengorbanan rakyat yang sangat luar biasa untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Rawagede juga menjadi saksi salah satu pembantaian paling biadab yang dilakukan tentara Belanda untuk kembali merebut negeri jajahannya, Indonesia. Sebanyak 431 orang tewas dibantai Belanda di desa itu.

Sehari sebelum pembantaian itu terjadi, perjanjian Renville baru saja dimulai. Dalam perjanjian itu, Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatera sebagai wilayah Indonesia. Sebagai hasil Persetujuan Renville, Indonesia harus mengosongkan wilayah-wilayah yang dikuasai TNI di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Divisi Siliwangi yang menguasai Jawa Barat pun diperintahkan untuk hijrah ke Jawa Tengah. Namun divisi Siliwangi membantah dan tetap melakukan perlawanan. Salah satunya pasukan yang dipimpin Kapten Lukas Kustario. Pasukan Kapten Lukas ini berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Maka Belanda pun memburu Kapten Lukas dan mengepung Rawagede.

***

Meski kini renta, Cawi tidak mungkin lupa pembantaian 9 Desember 64 tahun lalu itu. Ia ingat hari itu masih terlampau pagi. Baru jam enam pagi. Tapi seluruh warga Rawagede sudah panik. Seluruh pria yang ada di desa itu berlarian mencari tempat perlindungan. Mereka berusaha menyelamatkan diri dari pasukan Tentara Kolonial Belanda yang mengepung desa itu.

Begitu pula yang dilakukan Bendol, suami Cawi. Pagi itu Bendol terpaksa batal menggarap sawah, karena di batas desa ia melihat sejumlah tentara Belanda bergerak memasuki Rawagede.

"Suami saya sempat pulang dan bilang kalau Tentara Belanda mengepung desa. Dia kemudian pergi lagi untuk menemui sejumlah tetangga. Katanya mau mencari tempat sembunyi," terang Cawi kepada detik+ saat ditemui di kediamannya, di Desa Balongsari (dulu Rawagede).

Tapi tidak lama Bendol pergi, suara tembakan terdengar. Disusul suara ledakan meriam dan berondongan senjata. Para perempuan dan anak-anak yang ada di dalam rumah langsung tengkurap ketakutan. Mereka ada yang bersembunyi di kolong ranjang, lemari, maupun hanya tiarap di lantai.

Cawi tidak tahu apa yang terjadi di luar. Sebab ia hanya bisa bersembunyi di kolong ranjang kala suara tembakan dan meriam berseliweran di sekitar rumahnya. Setelah suara tembakan agak mereda, rumahnya tiba-tiba didatangi sejumlah orang. Mereka adalah orang keturunan Indonesia tapi memakai seragam pasukan Belanda (dulu dikenal sebagai pasukan KNIL).

Nah pasukan KNIL itulah yang meminta semua perempuan dan anak-anak yang sembunyi di rumah untuk segera keluar. Selanjutnya, mereka disuruh pergi meninggalkan rumah masing-masing. Cawi sendiri mengaku pergi ke persawahan yang berjarak ratusan meter dari rumahnya.

Dari kejauhan, Cawi melihat rumahnya dibakar. Begitu juga dengan rumah-rumah tetangganya yang lain yang waktu itu jaraknya cukup berjauhan. "Saya melihat rumah saya terbakar. Tapi saya hanya diam saja di pesawahan," ujar Cawi.

Hal sama juga dilakukan Wasiah (92), janda korban pembantaian Rawagede lainnya. Saat penyerangan itu, ia hanya bisa memeluk dua anaknya yang masih kecil di dalam rumah. Sementara suaminya, Senaf, pagi-pagi sekali pergi membajak sawah. "Saya mah diam saja di rumah," ujarnya perempuan kelahiran 1919 ini kepada detik+.

Penyerbuan pasukan Belanda ke Rawagede baru berakhir menjelang siang. Begitu pasukan kompeni angkat kaki, Cawi, Wasiah, dan perempuan-perempuan desa langsung mencari suami mereka masing-masing. Alangkah terkejutnya mereka ketika yang mereka temukan justru tumpukan jasad para pria di seantero desa.

"Saya menemukan suami saya di pinggir sungai Rawagede sore hari. Ia tertembak di bagian kepala," kenang Cawi sambil berlinang air mata.

Sedangkan Wasiah baru menemukan suaminya 2 hari kemudian. Saat itu ada warga yang melihat jasad Senaf tertumpuk diantara mayat-mayat pemuda di sekitar stasiun Rawagede, jaraknya sekitar 1 kilometer dari rumahnya.

Sya'ih Bin Sakam, saksi mata peristiwa itu, menuturkan pasukan Belanda melakukan pembantaian di delapan titik di Rawagede. Diantaranya ada yang dibantai di sungai, pesawahan, jalan desa, dan stasiun kereta Rawagede yang kini sudah jadi rumah penduduk.

Kala itu, sejumlah pemuda desa yang tertangkap saat sembunyi di sungai dan akan melarikan diri dijajarkan. Mereka ditanya soal keberadaan Kapten Lukas Kustaryo. Tapi warga desa dan sejumah pejuang yang tertangkap hanya bisa berkata "Tidak tahu Tuan."

Setelah itu senjata pasukan Belanda pun langsung menyalak. Mereka pun langsung jatuh bersimbah darah. Para korban tertembus sejumlah peluru. Bahkan ada yang terkena belasan peluru.

Sya’ih ingat ia sedang sembunyi di sungai saat tertangkap Belanda. Kemudian ia dan 11 pria desa yang lain dijajarkan dalam 3 baris, masing-masing empat orang dalam posisi jongkok. Sya'ih saat itu berada di barisan paling depan. Sementara pasukan Belanda posisinya berada di belakang mereka.

Ketika Belanda memberondong tembakan ia langsung tersungkur. "Saya selamat karena berada di bagian depan dan segera jatuh ke tanah," terang Sya'ih pada 10 Agustus 2010 lalu pada detik+. Sya’ih kini sudah tiada. Ia meninggal dunia pada Juni 2011 lalu.

Sehari sebelum penyerbuan itu, Lukas dan pasukannya memang sempat singgah di Rawagede. Namun menjelang Magrib, pasukannya kembali bergerak menuju Cililitan untuk melakukan penyerangan. Namun tidak semua pasukannya dibawa serta. Puluhan pejuang lainnya tinggal di Rawagede karena ada yang sakit dan kelelahan.

Tidak heran ketika usai pembantaian banyak berserakan jasad-jasad pria tidak dikenal. Mereka dibiarkan begitu saja hingga menjadi tulang belulang. Sebab warga desa yang tersisa tinggal kaum perempuan saja. Mereka hanya menguburkan saudara-saudaranya. Penguburan itu pun hanya ala kadarnya. Pasca pembantaian, selama 2 bulan Rawagede menjadi desa mati.

Seorang veteran Belanda memberi kesaksian yang lebih memilukan. Pembantaian tidak hanya dilakukan terhadap para pria, tapi juga perempuan dan anak-anak. "Wanita dan anak-anak yang mau melarikan diri dinyatakan patut dibunuh: semuanya ditembak mati. Jumlahnya ratusan," tulis seorang veteran Belanda yang menyembunyikan namanya dalam surat kepada Komite Utang Kehormatan Belanda(KUKB) di Belanda seperti dilansir Radio Nederland

"Semua lelaki ditembak mati – kami dinamai 'Angkatan Darat Kerajaan'.Semua perempuan ditembak mati – padahal kami datang dari negara demokratis. Semua anak ditembak mati– padahal kami mengakunya tentara yang kristiani," imbuh sang veteran menyesali diri.

Setelah desa dibakar, tentara Belanda mengumpulkan penduduk desa yang tersisa. Mereka disuruh jongkok, dengan tangan melipat di belakang leher. Dan menurut veteran itu hanya sedikit penduduk yang tersisa. "Aku teringat anak-anak yang tangannya masih terlalu pendek untuk melipat tangan di belakang leher, dan mata mereka terbelalak, ketakutan dan tak faham," kata veteran Belanda itu.

Begitu memilukannya pengorbanan rakyat di Rawagede untuk kemerdekaan. Tidak aneh bila kisah ini mengilhami sang pujangga Chairil Anwar untuk menulis puisi ‘Karawang-Bekasi’. ‘Kenang, kenanglah kami yang tinggal tulang-tulang diliputi debu. Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi’.

Artikel Terkait:



1 komentar:

Silahkan Tinggalkan Komentar Anda Sehabis Membaca